Syaikh Shâlih Fauzân bin `Abdullâh Al-Fauzân ditanya:
Apakah boleh seorang wanita yang sedang haid membaca Alqur’ân dengan hafalan, jika hal ini tidak boleh maka apakah berdosa jika mengajari Alqurân kepada anak-anaknya khususnya jika mereka berada di madrasah dalam keadaan haid?
Maka beliau menjawab:
Seorang wanita yang haid tidak boleh membaca Alqur’ân baik dengan memegang mushaf atau dengan hafalan karena dia sedang berhadats besar dan orang yang berhadats besar seperti wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca Aqur’ân karena Nabi -Shallallâhu `alaihi wa sallam- tidak membaca Alqur’ân jika beliau sedang junub. Dan haid adalah hadats besar seperti junub yang mencegah seseorang membaca Alqur’ân.
Tetapi dalam keadaan takut lupa, yaitu jika wanita haid hafal beberapa surat Alqur’ân atau hafal Alqur’ân dan dia takut lupa jika tidak membaca, karena waktu haid itu lama sehingga Alqur’ân yang telah dihafalkan bisa lupa, maka tidak mengapa dia membaca Alqur’ân dalam keadaan ini, karena hal itu darurat, sebab kalau dia tidak membaca Alqur’ân maka dia akan lupa. Seperti itu juga seorang siswa, jika datang waktu ujian dalam materi Alqur’ân dan dia sedang haid kemudian masa haidnya lama sehingga tidak mungkinmengikuti ujian tersebut kecuali bila haidnya berhenti maka tidak mengapa dia membaca Alqur’ân untuk ujian. Sebab kalau dia tidak membacanya tentu ujiannya gagal dan dia tidak sukses dalam ujian Alqur’ân dan ini membahayakannya. Maka dalam keadaan ini juga, seorang siswi boleh membaca Alqur’ân untuk mengikuti ujian baik dengan hafalan dan dengan memegang mushaf, tetapi dengan syarat dia tidak menyentuhnya kecuali dengan penghalang (misalnya dengan memakai kaos tangan).
Menurut Ustadz Abdullah Roy, Lc.
Diantara adab-adab membaca Al-Quran:
1. Membaca ta’awwudz (a’udzu billahi minasysyaithanirrajim).
Allah ta’alaa berfirman:
(فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) (النحل:98)
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”(Qs. 16:98)
2. Membaca Al-Quran dengan tartil (sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid).
Allah ta’alaa berfirman:
(وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً) (المزمل:4)
“Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil.”(Qs. 73:4)
3. Hendaklah dalam keadaan suci.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر
“Sungguh aku membenci jika aku berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.”(HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)
4. Membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran dengan siwak atau sikat gigi atau yang lain.
Berkata Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhuberkata:
إن أفواهكم طرق للقرآن . فطيبوها بالسواك
“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan-jalan Al-Quran, maka wangikanlah mulut-mulut kalian dengan siwak.”(Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Ibnu Majah 1/110-111).
5. Memilih tempat yang bersih.
6. Hendaknya merenungi apa yang terkandung di dalam Al-Quran.
Allah ta’ala berfirman:
(أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً) (النساء:82)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”(Qs. 4:82)
7. Memohon rahmat Allah jika melewati ayat-ayat rahmat dan meminta perlindungan dari kejelekan ketika melewati ayat-ayat adzab.
Di dalam hadist Hudzaifah disebutkan bahwa suatu saat beliau shalat malam bersama Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian beliau menceritakan bagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammembaca Al-Quran ketika shalat:
إذا مر بآية فيها تسبيح سبح وإذا مر بسؤال سأل وإذا مر بتعوذ تعوذ
“Jika melewati ayat yang di dalamnya ada tasbih (penyucian kepada Allah) maka beliau bertasbih, dan jika melewati ayat tentang permintaan maka beliau meminta, dan jika melewati ayat tentang memohon perlindungan maka beliau memohon perlindungan.”(HR. Muslim)
8. Tidak membaca Al-Quran dalam keadaan mengantuk.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع
“Kalau salah seorang dari kalian shalat malam kemudian lisannya tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik (karena mengantuk) dan tidak tahu apa yang dikatakan maka hendaklah dia berbaring.”(HR. Muslim)
(Lihat pembahasan lebih luas diAt-Tibyan fii Aadaab Hamalatil Quran, An-Nawawy, danAl-Itqan fii ‘Ulumil Quran, As-Suyuthi (1/276-299),Al-Burhan fii ‘Ulumil Quran, Az-Zarkasyi (1/449-480).
Kedua:
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah wanita yang haid boleh membaca Al-Quran atau tidak? Dan yang kuat –wallahu a’lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih yang melarang.
Bahkan dalil menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh membaca Al-Quran, diantaranya sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Aisyahradhiyallahu ‘anhayang akan melakukan umrah akan tetapi datang haid:
ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي
“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.”(HR.Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Berkata Syeikh Al-Albany:
فيه دليل على جواز قراءة الحائض للقرآن لأنها بلا ريب من أفضل أعمال الحج وقد أباح لها أعمال الحاج كلها سوى الطواف والصلاة ولو كان يحرم عليها التلاوة أيضا لبين لها كما بين لها حكم الصلاة بل التلاوة أولى بالبيان لأنه لا نص على تحريمها عليها ولا إجماع بخلاف الصلاة فإذا نهاها عنها وسكت عن التلاوة دل ذلك على جوازها لها لأنه تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما هو مقرر في علم الأصول وهذابين لا يخفى والحمد لله
“Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliaushallallahu ‘alaihi wa sallammelarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwamembaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah.” (Hajjatun Nabihal:69).
Namun jika orang yang berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh mushhaf atau bagian dari mushhaf, dan ini adalah pendapat empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalilhal: 17-18), Syafi’iyyah (Al-Majmu’2/67), Hanabilah (Al-Mughny1/137).
Mereka berdalil dengan firman Allah ta’alaa:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة: 79)
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang kita dilarang menyentuhnya adalah termasuk kulitnya/sampulnya karena dia masih menempel. Adapun memegang mushhaf dengan sesuatu yang tidak menempel dengan mushhaf (seperti kaos tangan dan yang sejenisnya) maka diperbolehkan.
Berkata Syeikh Bin Baz:
يجوز للحائض والنفساء قراءة القرآن في أصح قولي العلماء ؛ لعدم ثبوت ما يدل على النهي عن ذلك بدون مس المصحف، ولهما أن يمسكاه بحائل كثوب طاهر ونحوه، وهكذا الورقة التي كتب فيها القرآن عند الحاجة إلى ذلك
“Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari 2 pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarang, namun tidak boleh menyentuh mushhaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).
Ketiga:
Yang lebih utama adalah membaca Al-Quran dalam keadaan suci, dan boleh membacanya dalam keadaan tidak suci karena hadats kecil.
Dan ini adalah kesepakatan para ulama.
Berkata Imam An-Nawawy:
أجمع المسلمون على جواز قراءة القرآن للمحدث الحدث الاصغر والأفضل أن يتوضأ لها
“Kaum muslimin telah bersepakat atas bolehnya membaca Al-Quran untuk orang yang tidak suci karena hadats kecil, dan yang lebih utama hendaknya dia berwudhu.” (Al-Majmu’, An-Nawawy 2/163).
Diantara dalil yang menunjukan bolehnya membaca Al-Quran tanpa berwudhu adalah hadist Ibnu Abbas ketika beliau bermalam di rumahbibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau berkata:
فنام رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى إذا انتصف الليل أو قبله بقليل أو بعده بقليل استيقظ رسول الله صلى الله عليه و سلم فجلس يمسح النوم عن وجهه بيده ثم قرأ العشر الخواتم من سورة آل عمران
“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur sampai ketika tiba tengah malam, atau sebelumnya atau sesudahnya, beliau bangun kemudian duduk dan mengusap muka dengan tangan beliau supaya tidak mengantuk, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran.”(HR.Al-Bukhary)
Di dalam hadist ini Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammembaca Al-Quran setelah bangun tidur, sebelum beliau berwudhu.
Imam Al-Bukhary telah meletakkan hadist ini di beberapa bab di dalam kitab beliau (Shahih Al-Bukhary) diantaranya di bawah bab:
باب قراءة القرآن بعد الحدث وغيره
“Bab Membaca Al-Quran setelah hadats dan selainnya”
Namun sekali lagi, tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil menyentuh mushaf secara langsung.
Nah bro, menurut kalian gimana? Menurut saya sih penjelasan diatas pas banget deh..^_^
Wallahu a’lam.