Benarkah Allah Adalah Dewa Bulan?. Allah Bukan Nama Dewa Bulan ... !!!. Studi tentang Islam tetap merupakan bidang kajian yang masih akan menarik sampai masa yang sukar diperkirakan ke depan. Ditambah lagi ‘tesis’ Samuel Huntington yang dikenal dengan wacana “ the Clash of Civilizations” nampaknya meneguhkan bahwa eksistensi Islam di masa depan akan turut meramaikan diskursus pemikiran yang berkembang.
Dalam tesis tersebut Hutington menyatakan bahwa di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga saat ini adalah Islam, satu-satunya peradaban yang berpotensi mengguncang peradaban barat. Seolah menegaskan peran Islam dimasa mendatang, Huntington menekankan, bahwa konflik antara Islam dan Kristen baik Kristen Barat maupun Orthodoks adalah konflik yang sebenarnya.
Sedangkan konflik antara kapitalis dan Marxis, hanyalah konflik sesaat dan superfisial. “The twentieth-century conflict between liberal democracy and Marxist-Leninism is only a fleeting and superficial historical phenomenon compared to the continuing and deeply conflictual relation between Islam and Christianity”.[1]
Di pihak lain Barat sedang dihantui dengan kebangkitan Islam di wilayahnya sendiri. Fenomena konversi agama menuju Islam di Barat tidak dapat diabaikan sebagai angin lalu apalagi dipandang sebelah mata. Sementara itu fenomena gereja yang kosong, gereja yang dijual dan menjadi tempat diskotik, dan gereja yang bangkrut karena ditinggalkan umatnya sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
Tidak mengherankan jika sejumlah kalangan menjadi gerah ketika mencermati perkembangan Islam yang pesat tersebut. Peristiwa runtuhnya gedung WTC 11 September yang seharusnya mengkanvaskan Islam dalam keterpurukan, justru berbalik arah menguatkan Islam di Barat. Peristiwa tersebut justru memancing minat banyak kalangan untuk mencermati dan mempelajari Islam dan pada giliran selanjutnya masuk Islam karena tertarik dengan keluwesan ajarannya.
Robert Morey adalah salah satu tokoh yang merasa tidak nyaman dengan fenomena pertumbuhan Islam di Barat. Salah satu bukunya yang berjudul Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion (artinya : Invasi Islam – Cara Menghadapi Agama yang paling Cepat berkembang di dunia), setidaknya telah menegaskan phobia Morey terhadap Islam dan perkembangannya. Din Syamsuddin, tokoh Muhammadiyah, menilai bahwa buku ini sebenarnya tidak memiliki basis akademis ilmiah melainkan hanya sekedar mengokohkan sikap kebencian dan penghinaannya terhadap Islam.
Menurutnya, buku tersebut tidak perlu ditanggapi dan layak masuk tong sampah.[2] Dalam hal ini penulis sepakat dengan Din Syamsuddin. Namun mencermati kenyataan yang ada bahwa buku tersebut terlanjur menyebar kepada sejumlah kalangan muslim, maka hemat penulis, isi buku tersebut perlu diluruskan agar tidak terjadi misunderstanding dan misperception terutama di kalangan muslim awam. Juga mengingat bahwa buku Morey tersebut termasuk buku popular di Barat dan dimungkinkan akan menjadi rujukan ilmuwan Barat generasi berikutnya.
Terkait hal ini, penulis tidak sepakat terhadap pelarangan buku tersebut, sebab tulisan Morey ini justru merupakan bukti otentik kebencian tokoh Kristen yang telah mengkristal sekaligus menjadi sample bahwa keilmuan Barat seringkali dilandasi dengan motif dan kepentingan, diawali dengan kecurigaan, memasukkan dugaan dalam proses analisa, dan berakhir dengan kesimpulan yang meragukan, dalam hal ini hasil kajian dipandang sebagai kebenaran relatif.
Salah satu pembahasan pokok yang dilakukan Robert Morey terhadap Islam adalah kajiannya tentang asal-usul nama Allah, Illah dalam Islam. Menurut Morey, Allah adalah nama dewa Bulan yang berasal dari kepercayaan pagan di dunia Arab pra Muhammad. Morey berusaha meyakinkan pembacanya memberikan bukti melalui temuan arkeologis di sejumlah situs purbakala di Timur Tengah.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa analisa Morey tentang Allah tersebut pada ghalibnya tidak lebih sekedar ‘sulapan’ ilmiah seorang sophist. Sesuatu yang dibuat-buat dan diada-adakan untuk mengelabui pembacanya. Sekaligus melakukan sebuah upaya perbandingan dengan konsep nama tuhan dalam kekristenan, sebagaimana semangat yang sama telah dibangun oleh Robert Morey terhadap Islam.
SPEKULASI TENTANG NAMA ALLAH
Spekulasi Robert Morey bahwa nama Allah diadopsi Islam dari nama Dewa Bulan bangsa Arab, adalah konklusi ahistoris dan serampangan. Dalam paparannya, Morey mengetengahkan sejumlah ‘fakta arkeologis’ tentang Dewa Bulan bernama Allah.[3] Anehnya kesimpulan Robert Morey tersebut hanya didasarkan fakta bahwa sebelum Nabi Muhammad lahir, bangsa Arab telah mengenal nama Allah.
Kemudian secara kebetulan ditemukan sejumlah patung yang diduga sebagai patung Allah[4] dengan lambang bulan sabit di atasnya. Sedangkan bulan sabit adalah lambang yang secara umum terdapat di menara atau kubah masjid tempat ibadah umat Islam.[5] Lantas Robert Morey mengambil kesimpulan bahwa Allah adalah nama Dewa Bulan bangsa Arab. Sungguh analisa Morey tersebut tidak lebih merupakan sebuah peragaan intelektualitas yang terbelakang.
Tuduhan seperti dinyatakan oleh Morey, bahwa Allah adalah salah satu nama dewa Arab pra Muhammad bukan pertama kalinya dilontarkan oleh penganut Nashrani. Sejumlah kalangan Kristen, sebagaimana dipaparkan oleh Bambang Noorsena, telah mengembangkan wacana yang menganggap bahwa Allah adalah nama Dewa Air bangsa Arab.[6] Dasar yang digunakan, masih menurut Noorsena, adalah buku-buku yang dipahami secara parsial dan lepas dari konteks. Bambang Noorsena sendiri adalah ‘pembela’ nama Allah dalam Kristen.
Baginya, nama Allah telah dikenal oleh penganut ajaran Nasharani sejak masa sebelum kedatangan Islam. Agaknya Noorsena mencoba membangun dasar, bahwa Islam telah banyak mengambil konsep Kristen, terutama Kristen Orthodoks Syria, sebagai material pokok peyusunan doktrin keislaman, bukannya mencoba mengungkap keterkaitan Islam dalam rumpun Ibrahimic religion. Dalam hal ini Noorsena mengiyakan pemikiran Arthur Jeferry (m.1959).[7]
Persoalannya, persepsi dunia Kristen terhadap nama Allah dalam Islam kenyataannya tidak sama. Jika ‘sosok’ Allah yang dimaksud dalam kedua konsep (Dewa Bulan dan Dewa Air) adalah pribadi yang sama, maka justru terjadi kerancuan konseptual, dimana dewa air tidak sama dengan dewa bulan. Satu pribadi di satu pihak tidak dapat mewakili pihak yang lain secara bersamaan. Berbeda jika konsep yang ada justru menjelaskan bahwa Allah adalah sosok yang bukan hanya menguasai bulan dan air, namun kekuasaannya meliputi segala sesuatu yang ada.
Ajaran mendasar Al Islam merupakan millah Ibrahim (Ibrahimic Faith) dan penyempurnaannya. Bangsa Arab telah mengenal nama Allah tersebut melalui sisa-sisa ajaran Ibrahimic Faith.[8] Sebab bangsa Arab merupakan keturunan langsung Nabi Ibrahim melalui anaknya, yaitu Nabi Ismail. Maka tidak mengherankan, jika fenomena kehanifan dengan hanya menyembah Allah dan menghindarkan diri dari penyembahan berhala telah ada sejak lama dalam kehidupan bangsa Arab sebelum periode kenabian Muhammad.[9] Hal ini juga menjelaskan adanya kesinambungan ajaran para Nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad.
Sebagian dari masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad memiliki kecenderungan memuja fenomena alam seperti bintang, bulan, matahari, jin, dan lain-lain. Allah ditempatkan sebagai kekuatan tertinggi, bahkan di atas dewa-dewa ciptaan bangsa Arab.[10] Pembuatan patung-patung atau berhala para dewa tersebut dianggap sebagi wasilah (perantara) umtuk memuja Allah, kekuatan tertinggi tersebut. Prof. Dr. Raji al Faruqi dan Louis Lamya’ al Faruqi, dalam sebuah pembahasan penelitian sejarah dan arkeologi, menyebutkan bahwa nama Allah telah dikenal bangsa Arab sejak lama.
Nama tersebut ditujukan bagi sebuah kekuatan tertinggi di atas dewa-dewa Arab,[11] bukan merupakan nama diri dari Dewa Bulan sebagaimana kesimpulan Robert Morey. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai hasil pembauran konseptual antara sisa ajaran Ibrahimic Faith dengan dinamisme dan animisme yang kemudian tumbuh dalam masyarakat Arab selama kurun masa yang panjang. Maka penisbatan asma Allah sebagai nama Dewa Bulan, sebagaimana dilakukan oleh Morey, jelas merupakan kesimpulan gegabah dan spekulatif. Anehnya, pemikiran Morey tersebut seringkali diiyakan dan dirujuk oleh sejumah penulis Barat. Dan memang demikianlah ilmuwan Barat.
Singkatnya, konsepsi ketuhanan Allah dibandingkan dengan ketuhanan berhala, seperti Latta, Uzza, dan Mannath serta kekuatan alam lainnya, dalam pemikiran masyarakat Arab pra Muhammad adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing telah memiliki kerangka konsep yang berlainan. Hal ini diungkapkan secara tegas dalam Tafsir Al Maraghi sebagai berikut :
Bangsa Arab jahiliyah[12] dahulu kalau ditanya : “Siapa pencipta langit dan bumi ?” Jawabnya , “Allah”. Jika ditanya :” Apakah Laata dan Uzza bisa menciptakan sesuatu ? Jawabnya : “Tidak”.[13]
SEBUAH BANGUNAN WORLDVIEW
Usaha yang dilakukan Robert Morey dalam mendekonstruksi konsep ketuhanan Islam tersebut, tentu tidak lepas dari worldview kekristenan yang dikuasainya. Nampaknya Morrey berambisi untuk membuktikan ungkapan the old tests the new, yang maksudnya “Otoritas yang datang terlebih dahulu harus digunakan untuk mengukur otoritas yang datang kemudian’, tanpa mempertimbangkan bahwa proses amandemen terhadap otoritas terdahulu dimungkinkan terjadi.
Tanpa disadarinya, asumsi-asumsi bahwa Allah adalah sebutan dari nama salah satu dewa dari masa silam tersebut, banyak dipengaruhi oleh sejarah konsep ketuhanan dalam Kristen yang sejak awal telah rancu dan problematis. Oleh karenanya, maka Robert Morrey juga membangun persepsi sekaligus imaginasi yang sama terhadap Islam.
Dalam penulisan Perjanjian Lama, dikenal beberapa teori sumber penulisan. Diantaranya adalah sumber Yahwis (Y) dan Sumber El atau Elohim (E). Sumber Yahwist adalah sumber perjanjian Lama yang menyebut nama Tuhan dengan sebutan Yahwe.[14] Sedangkan Sumber El atau Elohim adalah sumber Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa nama Tuhan adalah El atau Elohim.[15] Bambang Noorsena mengakui bahwa berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang, nama Yahwe pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan, Asyera.
Salah satu bunyi inskripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebutkan oleh Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.) adalah sebagai berikut : Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah (Aku memberkati engkau demi Yahweh dari Smaria dan demi Asyera).[16] Sementara itu El atau Elohim sendiri adalah nama dewa bangsa Kanaan yang paling tinggi dalam pantheon (sidang para dewa), dimana El adalah ketuanya.[17] Dalam perkembangan selanjutnya nama El kemudian diterima sebagai nama Tuhan bangsa Israel, sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama.[18]
KESIMPULAN
Tulisan Robert Morey tentang asal usul nama Allah adalah sekedar fitnah dan kejahatan ilmiah belaka. Pemikiran Morey tersebut bisa dipahami lahir dari Worldview kekristenan yang digelutinya. Dalam hal ini melalui bukunya The Islamic Invasion, Morey bukan sedang melakukan proses perbandingan agama sebagimana klaim dalam sampulnya, namun tidak lebih merupakan reaksi orang yang terkaget-kaget akan perkembangan islam dan karena islamophobia telah menjangkiti dirinya sejak awal maka dia berusaha menjatuhkan ajaran Islam yang dimusuhinya.
[1] Samuel P. Huntington. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. (Touchtone Books, New York, 1996). Hal. 209
[2] Lihat Majalah Islam Sabili No. 11 Th. XI/2003. Hal. 23
[3] Robert Morey. Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion. (Christian Scholar Press, Las Vegas, 1992). Hal. 257
[4] Robert Morey. Ibid. Hal. 260
[5] Kenyataannya lambang bulan sabit dan bintang di atas menara masjid sama sekali tidak dikenal pada masa nabi Muhammad, para Shahabat, dan bahkan Tabi’in. Namun baru muncul pada masa-masa selanjutnya. Selain itu pembangunan masjid, secara umum, terkait bentuknya tidak pernah dibatasi dengan sebuah model secara khusus. Namun diserahkan sebagai urusan manusia dengan pembatasan tetap sesuai korodor syari’ah. Misalnya tidak terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya, tidak boleh ada patung, tidak boleh dibangun di atas kuburan orang shaleh, dibangun dengan harta yang halal, tanah tempat bangunan tidak diperkenankan mendhalimi pemilik sebelumnya, dan sebagainya.
[6] Bambang Noorsena. Menuju Dialog Teologis: Kristen-Islam. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001). Hal. 69. Bambang Noorsena adalah tokoh Kristen Orthodoks Syria dan staff pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.
[7] Arthur Jeffery adalah orientalis asal Inggris yang berusaha membuktikan bahwa sekitar 275 kata dalam Al Quran berasal dari kosa kata asing akibat pengaruh Bahasa Ethiopia, Aramaik, Syriak, Yunani Kuno, Persia, dan bahasa lainnya. Arah kajian Jeffery ini bermuara pada konklusi bahwa Al Quran mengambil sejumlah konsep asing Yahudi dan Kristen dari sejumlah bahasa tersebut dalam pembentukan ajaran Islam. Dengan demikian ajaran Islam terbentuk dari unsur pinjaman dari ajaran Yahudi dan Kristen melalui proses adopsi dan adaptasi. Kajian Jeffery ini dinilai tendensius dan terlalu dipaksakan. Beberapa penulis muslim telah membuktikan bahwa kesamaan sejumlah kosa kata dalam Al Quran tidak selalu menunjukkan adanya konsep pinjam-meminjam secara intercultural ataupun konseptual. Salah satu tulisan yang bisa dibaca Adnin Armas, MA. Kritik Arthur Jeffery terhadap al Quran. Dalam Majalah ISLAMIA. Th. I No. 2/2004. Hal. 7-19. Imam Syafi’i, jauh sebelumnya, telah membuktikan bahwa tidak ada perkataan asing dan sulit dimengerti dalam Bahasa al Quran. Sebab semua kosa kata dalam Al Quran tersebut telah banyak termuat dalam syair bangsa arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Kisah lain, suatu ketika Ibnu Abbas didatangi oleh Nafi’ ibn al-Azraq dan bertanya kepada beliau tentang lafadz-lafadz pelik dalam Al Quran (gharib Al Quran). Tidak kurang dari 250 kata dalam Al Quran yang tidak dipahami oleh Nafi’ ditanyakan kepada Ibn Abbas. Ibnu Abbas menerangkan ke -250 kata tersebut disertai penggunaannya dalam syair-syair jahiliyah. Hal ini juga membuktikan bahwa lafadz-lafadz yang diklaim bukan Bahasa Arab sebenarnya telah dikenal dan dipahami oleh bangsa Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad.Kata-kata itulah yang sebagian besar dipermasalahkan oleh Arthur Jeffery. Dengan demikian sebenarnya persoalan yang dikemukakan oleh Jeffery tentang kata-kata asing tersebut hanyalah persoalan lama dan usang dalam studi Islam klasik yang diungkit-ungkit kembali. Selengkapnya tentang pembahasan ke-250 kosa kata yang dimaksud, baca Muhammad Abdurrahim dan Ahmad Nashrullah (ed.). Gharib Al Quran fi Shi’ri al Arab: Su’alat Nafi’ ibn al-Azraq ila ‘Abdillah ibn ‘Abbas. (Mu’assasah al Kutub al Thaqafiyyah, Beirut, 1993). Selain itu pertukaran kosa kata antara dua bahasa yang berbeda, bukan merupakan hal yang aneh. Bahkan tidak selalu diikuti dengan pertukaran nilai yang terkandung dalam bahsa tersebut. Dalam teori pinjam meminjam, dinyatakan bahwa sesuatu yang dipinjam sebuah peradaban dari peradaban yang lain tidak selalu ditelan secara mentah-mentah oleh peradaban yang meminjam. Terdapat serangkaian proses, untuk mengolah substansi kata-kata asing sehingga menyesuaikan dengan nilai peradaban peminjam. Oleh karena itu keimulan Jeffery yang menyatakan bahwa pada saat Al quran mengadopsi kata-kata asing hal tersebut membuktikan bahwa Al Quran merupakan konsep yang dirancang dari pengaruh-pengaruh ajaran asing, termasuk ajaran Nashrani dn Yahudi, jelas kurang beralasan dan terlalu dipaksakan.
[8] Dalam keyakinan Islam, nama Allah telah dikenal sejak zaman Nabi Adam, manusia pertama.
[9] Syaikh Munir Muhammad al Ghadban. Manhaj Haraki : Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi SAW. Terjemah oleh Aunur Rafiq Shalih Tamhid,. dkk dari Al Manhaj al Haraki li as Sirah an Nabawiyyah. (Robbani Press, Jakarta, 1992). Hal. 27
[10] DR. Ali Anwar, M.Si dan Drs. Tono TP. Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat. (Pustaka Setia, Bandung, 2005). Hal. 71
[11] Ahmad Husnan. Ilmiah Intelektual dalam Sorotan. (Ulil Albab Press, Surakarta, 1993). Hal. 86
[12] Masa jahiliyah adalah masa pra kenabian Muhammad. Dianggap sebagai masa paling suram dalam sejarah Arab masa silam dimana masyarakat tenggelam dalam pola piker yang salah.
[13] Syaikh Ahmad Musthofa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz 1. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 7
[14] Dr. J. Blommendaal. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988). Hal. 18
[15]Dr. J. Blommendaal. Ibid. Hal. 19
[16] Andrew D. Clarcke dan Bruce W. Winters (ed.) . Satu Allah, Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah tentang Pluralisme Agama. Terjemahan dari One God, One Lord: Chritianity in a Word of Religious Pluralism. Hal. 50. Dalam Bambang Noorsena. Opcit. Hal. 70
[17] Dr. J. Blommendaal. Opcit. Hal. 32
[18] Pada perkembangan selanjutnya nama Yahwe dan El atau Elohim tidak dapat diketemukan dalam perjanjian Lama sebab nama tersebut diterjemahkan menjadi Tuhan, Bapa, dan sebagainya. Hal ini mengikuti penterjemahan sebelumnya dimana nama Tuhan diterjemahkan dengan God, Die u, atau Theos.
( muslimdaily.net )