12 Agu 2015

Kisah Cinta Abu al-Ash Dan Zainab ra. Puteri Rasulullah

sudarjambi.blogspot.com - Kisah cinta yang begitu bergemuruh. Antara bakti terhadap suami tercinta dan bakti terhadap Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Terbentang jarak dan waktu mengeja tentang arti kesabaran bahkan keikhlasan. Penantian dan Do’a menjadi kalimat kalam atas bahasa langit yang masih tersimpan. Begitu ironis, ketika pada akhirnya takdir cinta itu dipertemukan dalam kematian yang mengharukan.

Inilah kisah hidup dan tak lekang oleh waktu. Cinta sejati. Kisah putri pertama Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam dari Istri tercinta beliau; Khadijah. Juliet itu bernama Zainab Binti Muhammad. Ketika Rasullullah masih berada di Makkah, beliau menikahkan Zainab dengan seorang pemuda Quraisy bernama Abul Ash ibn Rabi’. Seperti halnya Zainab sebagai putri tertua dari seorang wanita terpandang di Mekkah kala itu; Khadijah, Abul Ash juga memiki status sosial dan nasab terhormat. Bukan strata biasa bagi kalangan suku Quraisy saat itu.

Tak lama setelah wahyu turun kepada Rasulullah untuk membawa ajaran Islam ke seluruh penjuru alam semesta, Zainab menyatakan dirinya beriman terhadap agama yang dibawa ayahnya itu. Meskipun Rasulullah mendapat tekanan yang begitu dahsyat dari kaum kafir Quraisy termasuk pula kepada seluruh keluarganya, namun Zainab tetap bersikukuh hati untuk beriman kepada Allah. Cobaan yang begitu besar senantiasa menerjang keluarga Rasulullah. Termasuk kepada ke Dua adik Zainab; Ruqayyah dan Ummu Kultsum, suami-suami mereka menceraikan mereka berdua dengan semena-mena setelah mendengar Nabi Muhammad membawa ajaran baru di kalangan suku Quraisy.

Tetapi hal itu tak berlaku bagi Abul Ash. Abul Ash sama sekali tak berbantah. Dia juga tidak menunjukan permusuhan terhadap Zainab yang merupakan anak dari Nabi Muhammad; seseorang yang dikucilkan dan dimusuhi oleh orang-orang Quraisy sebagaimana Utbah dan Utaibah kepada Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Walaupun Abul Ash syirik dan tidak mau sedikit pun menerima Islam, tetapi cintanya kepada Zainab sama sekali tidak berubah. Masih meriak laksana ombak di tepi pantai. Dia tetap berlaku baik terhadap Zainab, mencintainya setulus hati tanpa ada sedikitpun benci di hatinya. Begitu pula dengan Zainab, ia tetap mencintai Abu Ash dan mengaguminya serta tak henti mendoakan Abu Ash agar Allah memberikan hidayah kepadanya untuk berada di pangkuan Islam.

Permusuhan kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah dan ajaran Islam sudah melampaui batas. Hingga saat turun perintah Allah agar Nabi Muhammad hijrah dan bertolak ke Madinah. Dalam perjalanan hijrah itu Zainab tidak mengikuti ayahnya. Ia lebih memilih berbakti kepada suaminya di Makkah. Ia bertahan di Makkah menjaga Abul Ash dan menunjukan baktinya yang luar biasa kepada suaminya itu. Abul Ash juga tak kalah perhatian terhadap Zainab, ia menjaga dan merawat Zainab dengan sepenuh jiwa.

Bertahun-tahun, cinta mereka bertahan dalam gelombang keimanan yang dasyat di Makkah. Zainab yang tanpa sosok ayahnya lagi Rasul utusan Allah, tetap menjaga keimanan terhadap Allah di antara riuhnya orang-orang yang memusuhi Islam kala itu. Sang suami meskipun Kafir tetap melindungi Zainab dari perilaku-perilaku kaum Quraisy. Ia tetap menghargai keimanan sang Istri, tanpa sedikitpun ia mengekang Zainab untuk beribadah kepada Allah.

Suatu ketika...
Tatkala kaum Quraisy Makkah keluar dalam ekspedisi Perang Badar untuk menaklukkan Islam, Abul Ash ikut serta di dalamnya. Bersama mereka dia pongah dan berbulat hati untuk membasmi Islam. Ditinggalkannya Zainab di Makkah dengan pikiran kalut berbalut emosi untuk meluluh lantakan Islam dari muka bumi. Zainab terdiam di rumahnya yang sepi tanpa kehadiran Abul Ash untuk bercurah kasih. Pikiran Zainab pecah terbagi. Di satu sisi, ia mencemaskan ayahnya dan orang-orang muslim yang membela agama Allah. Di sisi lain, ia takut sesuatu yang buruk menimpa suami tercintanya. Begitu galau hatinya kala itu. Siapa lagi tempat mengadu tentang apa yang dialami, jika bukan kepada Allah ia kembali.

Hari demi hari berlalu. Perang Badar pun usai. Takdir langit menjawab. Zainab yang lemah tak berdaya diberikan limpahan rahmat. Islam menang, sementara suaminya Abul Ash selamat meskipun tertawan. Demi dzat yang menciptakan langit dan bumi, lega lah hati dan perasaan Zainab saat itu.
Satu persatu orang-orang musyrik mengirimkan utusan untuk menebus keluarganya yang ditawan umat Islam di Madinah. Tetapi, karena keterbatasan harta Zainab tidak punya apa-apa untuk menebus suaminya. Ia kembali terdiam. Seketika rasa sedih kembali menggelayut di hati. Dengan apa ia harus menebus, jika satu-satunya harta yang ia miliki hanyalah kalung peninggalan ibunya; Khadijah. Kalung itu diberikan kepada Zainab sebagai hadiah saat ia menikah bersama Abul Ash dulu. Zainab sadar jika kalung itu sangat berharga bukan karena nilainya, tapi kisah yang tersemat di dalamnya. Tentang ibunda tercinta. Namun kecintaannya terhadap suami mampu memudarkan kenangan indah di balik kalung pemberian Khadijah itu.

Maka, ia utuslah beberapa orang kerabat Abul Ash untuk menemui sang Nabi, yakni ayahnya sendiri. Tatkala nabi melihat kalung tebusan untuk Abul Ash yang dibawa oleh utusan itu ia terperanjat. Nabi bergeming menatap kalung itu. Ia segera mengenali jika kalung itu adalah kalung peninggalan istrinya dulu. Setiap lekukan dan ukirannya masih jelas, seolah-olah kenangan itu kembali hidup di hadapan Nabi. Hati berdebar, air mata menetes perlahan membasahi pipi. Kalung itu sungguh memijarkan pelangi kenangan. Begitu terang masa lalu itu. Seolah membawa beliau menyusuri hari-hari lalu penuh cinta bersama Khadijah.

Nabi tidak ingin mencabut kenangan indah itu dari putrinya; Zainab. Tetapi, beliau juga tidak ingin mencabut hak prajurit atas harta rampasan (Ghanimah). Maka diungkapkanlah isi hati beliau itu dengan tutur kata yang lembut dan memukau kepada prajurit-prajuritnya. Beliau bersabda tanpa aksen memerintah ataupun mengharuskan, “Kalau tidak keberatan, kalian serahkan kepadanya (Zainab) tawanannya berikut kalungnya.”

Karena kalung itu dan cinta sang putri begitu besar terhadap suaminya, maka hati Nabi luluh. Ia membebaskan Abul Ash tanpa tebusan sepeser pun. Abul Ash pulang ke Makkah dengan kalung kenangan milik Zainab terlingkar di lehernya. Anugerah yang begitu besar, anugerah yang tak mungkin dia dapatkan tanpa adanya Zainab. Maka, makin tinggilah derajat Zainab di hati Abul Ash. Cinta Abul Ash semakin besar.

Setibanya Abul Ash di Makkah, kebahagiaan membuncah di antara keduanya. Isak tangis tak terbendung. Abul Ash meloncat dari atas Ontanya, berlari memeluk Zainab. Istri tercinta. Bagitulah takdir Allah, ketika ia meridhoi sesuatu ... apapun itu maka akan tetap terjadi. Begitu pula cinta Zainab dan Abul Ash. Keputusan Allah itu pasti, rencana Allah selalu happy ending. Entah apa rencana Allah pada sepasang suami istri ini(?) Pastilah sesuatu yang besar adanya.

Setelah pertempuran itu, kehidupan mereka bahagia. Zainab sedikit demi sedikit mampu merekahkan senyuman. Sang suami di hari-hari yang ia lalui selalu ada untuk Zainab, begitu pula dengan Zainab yang selalu menjadi penyejuk hati bagi Abul Ash. Kebahagiaan apalagi lah yang mereka cari, selain kebersamaan indah ini. Lamat-lamat Zainab berdoa agar keceriaan ini akan terjalin selamanya.

Sungguh sempurna hidup mereka kini. Terlebih ketika suatu hari Abul Ash menemukan Zainab muntah setelah makan malam. Semula ia kira Zainab sedang sakit, namun setelah ia periksa pada tabib ternyata Zainab hamil. Zainab mengandung buah hati dari cinta mereka berdua setelah bertahun-tahun bersama. Mungkin baru kini Allah memberikan amanah itu kepada Abul Ash dan Zainab karena waktu ini yang tepat. Zainab percaya jika setiap ketentuan Allah adalah yang terbaik untuk hambanya.

Lagi-lagi takdir mengambil perannya. Tak lama Zainab dan Abul Ash bersama hidup bahagia di Makkah, turun sebuah wahyu yang mengharamkan orang Islam kawin dengan orang Musyrik. Seketika Rasul memerintahkan agar Abul Ash menceraikan anakknya; Zainab. Keputusan itu begitu berat bagi keduanya. Bagaimana mungkin langit kembali memisahkan mereka setelah apa yang terjadi. Dan setelah apa yang mereka lewati. Tapi itulah cinta, cinta kepada Allah yang begitu besar tumbuh di hati Zainab memaksa ia harus mendekap erat keikhlasan untuk berpisah. Abul Ash juga merasakan, meskipun cinta mereka begitu dahsyat namun apalah daya jika Kehendak takdir mengatakan demikian.

Kesabaran dan keikhlasan lah yang mesti mereka tanam kini. Setelah kebahagiaan yang mereka rangkai, kini mereka harus berpisah. Tentunya untuk hal yang lebih mulia; Ridho Allah SWT. Tak pelak lagi kesedihan mendera keduanya. Bagaimana janin yang ada dalam kandungan Zainab, belum juga ia terlahir ia telah merasakan pahitnya hidup kedua orang tuanya.

Setelah Abul Ash menceraikan Zainab, ia berjanji untuk mengantar Zainab langsung pada ayahnya di Madinah.

Dalam perjalanan menuju Madinah, suatu kejadian tak disangka-sangka menimpa rombongan perjalanan Abul Ash dan Zainab. Penyamun menyerang mereka. Akibat peristiwa mengejutkan itu, Zainab jatuh terjerembab dari Ontanya. Hal itu mengakibatkan janin yang ia kandung gugur pada saat itu juga. Harapan buah cinta mereka kandas sudah. Hampir saja jiwa mereka tak tertolong jika saja Allah tidak menurunkan rahmat berupa pertolongan melalui seorang penyelamat. Mereka baru bisa tiba di Madinah setelah melewati sekian ribu undakan dan turunan yang terjal. Zainab dengan fisik lemah akibat keguguran merasakan betul betapa berat dan pedihnya perjalanan yang mereka tempuh.

Sesampai di Madinah, Abul Ash menyerahkan Zainab pada Nabi. Ia menceritakan semua kejadian yang mereka alami di jalan saat menuju Madinah. Nabi paham kesedihan yang menggurat di wajah mereka berdua. Lebih dahsyat lagi. Selain mereka kehilangan buah hati mereka yang masih dalam kandungan Zainab, kini mereka harus berpisah untuk selama-lamanya. Abul Ash menelan ludahnya, tenggorokan dia tercekat saat sadar dirinyalah pemeran utama yang berada di jelaga takdir ini. Kisah cinta mereka harus rela terpenggal oleh kenyataan yang ada. Zainab seorang muslim yang taat kepada Allah dan Rasulnya, sementara Abul Ash hanyalah seorang kafir Quraisy yang teramat membenci Islam.
...
Jauh di kota Makkah, setiba Abul Ash kembali ke kampung halamannya. Dirinya tak kuasa melupakan Zainab. Wajahnya selalu terbayang. Kerinduan padanya begitu tak tertahanan. Ia berharap dapat menemukan jalan keluar dari keadaan pelik yang menyiksa ini. Seribu pedang melukai tubuh dia masih bisa bertahan, lalu bagaimana dengan perasaan(?) sungguh ini sangat sulit dikendalikan.

Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun. Abul Ash masih saja tetap setia dengan kesendiriannya. Ia masih menjaga rasa cinta itu hanya untuk Zainab.

Demi untuk mengurangi rasa rindunya pada Zainab, Abul Ash mulai menyibukan diri dengan berdagang. Suatu profesi yang sudah ia geluti sejak lama. Sebagai seorang pedagang, Abul Ash sangat jujur dalam urusan jual-beli. Ia sangat dipercaya oleh juragan-juragan Quraisy, karena setiap kali ia mengurus perniagaan mereka. Selalu saja Abul Ash kembali dengan keuntungan yang berlipat ganda.

Pada suatu hari, pada saat kedatangan kabilah Syam. Abul Ash ikut dalam rombongan ekspedisi dagang para saudagar Makkah untuk berniaga ke luar. Meraka menargetkan menjual barang-barang dagangan di pasar-pasar Bashrah dan sekitarnya. Tetapi malang, saat hendak pulang ke Makkah para prajurit Muslim yang kebetulan berpatroli di daerah sana berhasil memergoki Abul Ash dan rombongan. Seluruh barang dagangan Abul Ash ditahan oleh Prajurit Muslim, bahkan dirinya juga dapat tertangkap andai saja dia tidak segera menghidar dari tempat itu untuk bersembunyi.

Sendirian Abul Ash berjalan di tengah bentangan luas gurun sahara yang panas. Ia takut. Ia merasa dunia begitu sempit. Sederetan pertanyaan berdesakan di kepala; bagaimana harus kembali ke Makkah dengan tangan kosong? Apa yang akan dia katakan kepada juragannya? Ia terus berpikir mencari jalan di tengah himpitan panas yang membakar. Tiba-tiba ia mendapat sebuah inspirasi yang membentuk tekad dan keyakinan mantap.
Ia berencana mendatangi Madinah untuk meminta perlindungan mantan istrinya; Zainab. Seseorang yang sangat ia cintai.

Berkirim suratlah ia ke Madinah kepada Zainab guna menceritakan semua hal yang ia alami saat ini. Tentang setiap gundah hati. Tentang segala masalah yang melilitnya hingga Abul Ash tak berani pulang kembali ke Makkah. Tak dinyana surat itu berbalas, Zainab menyetujui jika ia akan melindungi Abul Ash selama di Madinah.
...
Keesokan harinya...

Saat kaum Muslimin melaksanakan Sholat Shubuh berjamaah bersama Rasulullah. Khusyuk menikmati lantunan kalam Allah yang dibacakan Rasulullah, tiba-tiba terdengar seorang wanita berteriak dari belakang mereka. Suara itu berasal dari Zainab.

“Wahai kaum Muslimin yang dirahmati Allah! Au memberi perlindungan kepada Abul Ash ibn al-Rabi’.”

Usai Sholat, Nabi bertanya heran kepada sahabat, “Apakah kalian mendengar apa yang tadi kudengar?”
“Ya,” jawab mereka.

“Aku tidak tahu apa yang saat ini sedang terjadi, hanya yang pasti, setiap muslim dilindungi oleh muslim lain yang terdekat,” sabda beliau.
Dalam hati Nabi tahu jika Abul Ash belumlah menjadi seorang Muslim, ia masih musyrik. Namun cukuplah hal itu membuat Muslim lainnya tenang dan tak sampai melakukan sesuatu yang buruk pada Abul Ash sampai semuanya menjadi jelas baginya.
Kemudian diutuslah seseorang kepada Zainab untuk menyampaikan pesan Nabi, “Jangan sampai ia (Abul Ash) mendatangimu, sebab kamu tak halal lagi baginya.”

Akhirnya, setelah diberi tahu oleh sahabat, Nabi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Abul Ash. Ia datang ke Madinah dengan ketakutan yang luar biasa untuk meminta perlindungan kepada Zainab. Nabi merasa iba. Hati beliau bergemuruh. Bukan semata karena Zinab adalah putrinya. Meski beliau tahu perasaan apa yang masih putrinya pendam hingga sekarang. Cinta kepada Abul Ash. Ini semua juga karena batinnya yang terus dirajam lara dan tak henti menuai duka. Beliau terhenyuh saat memikirkan Abul Ash. Tentang cintanya terhadap Putri beliau. Beliau berharap Abul Ash segera mendapat hidayah dari Allah. Bahkan, untuk itu beliau bermunajat khusus untuknya, sebagaimana pula beliau bermunajat untuk kaum musyrik pada umumnya, agar diberi hidayah oleh Allah. Tanpa disadari, air mata Rasul luruh.

Mendengar kabar yang santer beredar di Madinah tentang perlindungan Zainab kepada Abul Ash, tahulah kaum muslim sisi-sisi cerita yang sebenarnya. Mereka semua menghormati keluarga Nabi. Mereka dapat menangkap ekspresi kesedihan nabi terhadap kisah hidup putrinya dan Abul Ash. Karena itu, cepat-cepat mereka mengembalikan barang-barang milik Abul Ash yang mereka tangkap kepada pemiliknya secara utuh. Tanpa kurang sedikit pun. Mereka juga membiaran Abul Ash pulang ke Makkah dengan membawa serta hartanya dalam keadaan aman.

Sungguh kekuatan cinta begitu besar. Kekuatan itulah yang membulatkan tekad Abul Ash untuk menuju Madinah. Dan karena cinta itu pula ia kini dapat mengambil kembali barang-barangnya. Sepanjang perjalanan ia habiskan untuk merenungi setiap jengkal peristiwa yang ia alami. Dan tahulah dia sekarang bahwa kaum Muslim di Madinah tidak menunjukan sikap permusuhan kepadanya. Bahwa mereka sama seali tidak menginginkan hartanya. Bahkan yang lebih luar biasa bagi Abul Ash dan membuat hatinya kagum saat mereka berhijrah dan meninggalkan harta benda begitu saja. Mereka lepaskan seluruh kekayaan dan segala attribute keterhormatan status sosial yang mereka sandang. Mereka rela hidup misin dan jelata di jalan Allah. Dan kini, usai perang badar yang prestisius itu, kekuatan mereka makin kukuh. Kedudukan mereka meningkat, dan kemuliaan yang dulu mereka tinggalkan kini tergenggam kembali di tangan. Bahkan kini mereka siap mencerabut kehormatan kaum Quraisy dan menerjang segala alang merintang. Kini umat muslim siap menaklukan dunia!

Terkenang kembali dalam pikiran Abul Ash keagungan hati Zainab dan hati Rasulullah SAW. Juga sikap kaum muslimin yang lain, demi rasa hormat mereka pada Zainab, mereka telah mengembalikan martabat dan kehormatan dirinya di tengah-tengah masyarakat Makkah. Maka, begitu masuk Baitullah yang suci dan menatap Ka’bah, jauh dari lubuk hatinya Abul Ash memancarkan iman.

Cahaya yang menancap menjadi satu tekad. Tekad yang jauh lebih suci dibandingkan dengan tekad dia sewaktu disergap prajurit Muslim di dataran tinggi Madinah yang hampir menewaskan dirinya. Kini dia merasa manjadi bayi yang baru saja dilahirkan ke bumi.
...
Penduduk Makkah menyambut kedatangan Abul Ash yang membawa hasil melimpah itu dengan ucapan selamat dan doa kebaikan. Mereka berkumpul memuji kejujuran, kemuliaan dan kedudukannya yang agung setelah laba yang didapatkannya diserahkan kepada mereka seutuhnya.
Tetapi, saat penduduk Makkah hendak membubarkan diri, Abul Ash berkata kepada mereka dengan suara lantang, jiwa besar, dan semangat yang bergejolak.

“Wahai segenap kaum Quraisy! Apakah aku telah menunaikan kewajibanku kepada kalian?”

“Tentu saja, kaulah saudara kami yang terbaik! Semua telah kau tunaikan Abul Ash! Bahkan tanpa kurang sedikit apapun,” sahut mereka.

“Sekarang ketahuilah,” kata Abul Ash kemudian, “bahwa aku telah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”

Mendengar itu sontak seluruh warga Makkah terdiam. Mereka kaget. Bergeming dengan kebisuan sejuta bahasa tatkala mendengar langsung apa yang diucapkan Abul Ash.

Rupanya Abul Ash ingin keimanannya itu berangkat dari suatu kekuatan, bukan kelemahan ataupun kehinaan. Agar kejujurannya tidak tercoreng, dan dapat mengucap dua kalimat Syahadat dengan mantap. Ia tunaikan terlebih dulu kewajibannya terhadap kaum Quraisy. Baru kemudian keimanan itu meledak buncah tak tertahankan. Keimanan ini membuat kaum Quraisy bungkam.

Tak lama setelah itu, Abul Ash pun bertolak menuju Madinah. Ia memutuskan untuk bergabung dengan segenap kaum Muslimin lainnya. Kabar keimanan Abul Ash segera diketahui Rasulullah. Begitu bahagianya Rasul mendengar berita itu. Dengan kelapangan hati dan tangan terbuka beliau mempersilahkan dan menerima Abul Ash menjadi bagian dari mereka kini. Terlebih Zainab, tatkala ia mendengar berita bahwa Abul Ash kini Islam, tak pelak tangis bahagia mengucur deras membasahi pipi. Ia sujud syukur terhadap rahmat dan karunia yang begitu besar ini.
Sesampainya dia di Madinah sambutan luar biasa pula dari kaum Muslim lainnya. Tak berselang lama setelah itu Nabi memutuskan untuk menikahkan kembali putrinya Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash ibn al-Rabi’.

Pernikahan digelar sederhana, namun dengan kebahagian yang sulit dilukiskan kata-kata. Zainab dan Abul Ash beradu pandang. Mereka saling tersenyum. Senyum bahagia ketika mereka melepas rasa dahaga cinta setelah sekian lama berpisah. Rasa itu tetap sama, tak memudar sedikitpun benih kasih diantara mereka. Allah kembali mempertemukan mereka dengan Mahar istimewa berupa keislaman Abul Ash itu sendiri. Sayup-sayup air mata bahagia kembali menganak sungai di pipi keduanya.

Layar tertutup, kisah Abul Ash dan Zainab kini berakhir penuh takjub. Perjuangan lika-liku cinta yang begitu menggerus jiwa. Kisah yang tak aan lekang oleh waktu. Tentang kesetiaan cinta, pengorbanan, dan ketaqwaan terhadap Allah.

Tetapi, kebahagiaan itu ta berlangsung lama. Sungguh ironis. Di tahun ini pula (Tahun kedelapan Hijriah) setelah pernikahan mereka Zainab berpulang ke pangkuan Allah. Sungguh hal ini menjadi pukulan yang berat bagi Abul Ash dan juga Nabi. Berhari-hari Abul Ash dirundung duka mendalam. Ia menjadi sulit makan. Hingga tak lama setelah itu Abul Ash juga menyusul Zainab berpulang ke pangkuan Allah. Cinta sejati mereka dijalani dengan lika-liku yang begitu menggetaran siapa saja yang membaca. Kisah cinta sejati sesungguhnya. Mudah-mudahan mereka dipertemukan di Syurga.


Share:

Merasa terbantu? Donate:
Previous
Prev Post «
Disqus
Blogger
Choose comment platform

Tidak ada komentar

Berkomentarlah dengan bijak. Sobat juga bisa menambahkan emoticon, klik 👉

Langganan Artikel Gratis
Masukan alamat email:

Delivered by FeedBurner

Merasa terbantu oleh blog ini?

Sobat bisa memberikan donasi via PayPal, klik tombol di bawah ini. Terima kasih.

Popular Posts