Russell Stannard
ekstrak dari ‘The Light Beam that Got Away’ dari The Time and Space of Uncle Albert (1989),
Pengantar oleh Richard Dawkins
Ini adalah cerita anak-anak karya Russel Stannard dalam serial Paman Albert. Ceritanya, Paman Albert (yang mungkin dari Einstein, walau tidak pernah ia sebut) yang bijak dan baik mengirimkan keponakannya Gedanken dalam sebuah percobaan pikiran – pengalaman pikiran, karena ini fiksi – dimana ia belajar mengenai prinsip dasar fisika modern. Dalam kutipan ini, Gedanken mengejar sebuah cahaya dan kembali dengan memahami relativitas khusus. Saya tidak mengklaim kalau saya sekarang sangat paham mengenai relativitas khusus, tapi bahkan pada usia saya sekarang, saya merasa Paman Albert sangat memahaminya.
Ruang dan Waktu Paman Albert
“ … sudah tugas saya menjagamu dan melihat apakah semua baik-baik saja. Kamu hanya perlu … well… menikmatinya. Oke. Sudah siap?”
Gedanken terlihat senang dan mengangguk.
“Oke. Kencangkan sabuk”.
Ia memakai sabuk pengamannya.
“Sekarang kamu hanya perlu kuatir dengan tombol merah di depanmu. Saat kamu ingin menyalakan motornya, kamu cukup memencet tombolnya. Tahan selama waktu yang kamu inginkan untuk menyalakan roket. Oke?”
“Yap” ia mengangguk, semakin senang.
“Oke, kalau sudah siap, kamu bisa berangkat.”
Gedanken mengambil napas panjang, menjulurkan tangan dan menekan tombol.
Seketika, dari ekor pesawat, terdengar suara mesin menyala. Ia merasa menempel pada kursinya.
“Menegangkan banget” pikirnya.
Setelah beberapa saat komputer bersuara, “Anda bisa melepaskan tombolnya sekarang.”
Ia pun melepaskannya dan suara mesin lenyap. Tidak lagi ia tertekan pada kursinya. Ia merasa melayang dan merasa akan lepas dari kursinya kalau saja tidak ada sabuk pengaman yang menahannya. Rasanya sangat menyenangkan bila kamu terbiasa.
“Itu kecepatan kita kan?” tanya Gedanken, menunjuk pada layar digital di atas tombol di depannya. Disitu terbaca kecepatan relatif dengan bumi dan terbaca ‘0.5 kali kecepatan cahaya’.
“Betul” kata sang komputer. “Kita sekarang bergerak dengan kecepatan separuh kecepatan cahaya.”
“Lalu mengapa kita tidak melambat?”
“Haruskah kita melambat?”
“Karena mesinnya mati. Kita semestinya melambat”
“Ini bukan sepeda,” kata sang komputer dalam nada tinggi.
“Ini pesawat luar angkasa. Sekali pesawat dipicu untuk melaju ia tidak perlu di picu lagi lebih jauh. Di luar sana, tidak ada udara atau apapun untuk memperlambat kita. Jadi kita akan terus meluncur. Kita hanya perlu motor roket saat kita ingin merubah kecepatan – saat kita mau bergerak lebih cepat atau lebih lambat.”
“Bagaimana bisa mesin membuat kecepatan justru lebih lambat?”
“ Dengan memutar mundur, tentunya.”
Diatas layar digital ada jendela besar menghadap ke depan pesawat. Gedanken melihat pada angkasa penuh bintang yang ada di depannya. Tiap saat ia merasa lebih santai dan seperti berada di rumah. Ia mulai menikmati perjalanannya.”
“Oke,” kata komputer, “kalau kamu sudah siap, kita harus memulai misi kita. Paman Albert sudah memprogram beberapa perintah buat ku. Saya akan mencarinya dalam bank memori saya.”
“Kita harus mengejar sebuah berkas cahaya,” kata Gedanken dengan senang.
Ada diam sebentar, lalu sang komputer melanjutkan, “Ah ya, betul. Menangkap berkas cahaya, katanya. Betapa anehnya. Mudah-mudahan dia tau apa yang dia lakukan. Oke. Kamu ada melihat berkas cahaya? Mestinya ada banyak dengan begitu banyaknya bintang disana.”
Gedanken menjenguk ke jendela. Mendadak ia menunjuk dengan senang, “Itu! Yang itu kan?”
Di luar, sebuah berkas kemilau tampak melaju. Terlihat bagi Gedanken kalau berkas itu memiliki wajah – wajah yang malu-malu … dan … ya, ia tertawa! Ia jelas mendengar berkas itu tertawa, seperti gadis remaja yang sangat senang, dan suara merayu menghimbau : “Ayo, coba tangkap saya kalau bisa.” Saat ia semakin jauh dengan berkasnya yang semakin kecil dan redup.
“Ya” sahut komputer, “Itu dia. Kejar dia sebelum lepas!”
“Gampang,” kata Gedanken. “Kita sudah separuh kecepatan cahaya.” Dan dengan itu iapun menekan tombolnya, mesin menyala sekali lagi, dan mereka mengejar cahaya.
Setelah beberapa menit komputer berkata, “Oke. Itu pasti cukup, kita mestinya bisa menangkapnya sekarang.”
Gedanken melepaskantombol dan melihat berkas cahaya tersebut. Wajahnya kaget.
“Oh. Dia malah lebih jauh dari sebelumnya,” katanya.
“Lho? Lebih jauh … itu mustahil.”
“Tapi iya”
“Tidak mungkin. Berapa kecepatan kita?” tanya komputer.
“Er… 0.900. sembilan persepuluh kecepatan cahaya – sepertinya.”
“Itu saja?”
“Iya,” katanya.
“Betapa anehnya. Menurut perhitungan saya kita mestinya mampu mencapai kecepatan cahaya.”
Gedanken mendengar suara tertawa dari jauh : “Harusnya kamu bisa lebih baik lagi.”
“Tambah lagi,” kata komputer. “Saya akan memakai kekuatan penuh kali ini.”
Gedanken menekan tombolnya sekali lagi. Suara mesin memekakkan telinga – jauh lebih nyaring dari sebelumnya. Pesawat bergetar hebat. Seolah pesawat itu akan tercerai berai menjadi berkeping-keping.
Setelah waktu berjalan seperti selamanya, komputer menyuruhnya melepaskan tombolnya, dan ia bersyukur. Ia melihat ke jendela. Pertama ia tidak melihat apa-apa. Lalu ia melihat sang berkas cahaya.
“Oh tidak. Ia jauuuuh sekali – dan semakin jauh.”
“Mustahil. Berapa kecepatan kita sekarang?”
“0.999 kecepatan cahaya.”
“Paling aneh. Jawaban yang saya dapatkan berbeda.” Lalu dengan kesal ia menambahkan, “Saya pasti salah di program. Saya rasa seperti itu. Saya tidak mengira seperti ini. Memalukan. Saya harus memeriksa diri saya sendiri.”
“… … tidak bisa menunggu… tidak bisa menunggu… harus cepat …”
Gedanken mendengar suara berkas cahaya itu semakin mengecil di kejauhan.
Berkas cahaya tersebut meredup – dan akhirnya lenyap.
Sumber : Teori dan Fakta Evolusi